Didorong oleh momentum global and domestik, pada pertengahan tahun lalu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) meluncurkan roadmap digital Indonesia 2021-2024 dengan fokus percepatan transformasi digital di empat sektor strategis yaitu infrastruktur, pemerintahan, ekonomi, dan masyarakat. Fokus dari roadmap tersebut termasuk menghasilkan sembilan juta talenta cerdas digital pada tahun 2030.
Namun, Johnny G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika, baru-baru ini mengakui bahwa saat ini, pemerintah Indonesia sendiri belum mampu menghasilkan talenta digital yang cukup untuk memenuhi target. Oleh karena itu, ia mendorong pihak-pihak strategis, baik dalam dunia bisnis maupun pendidikan tinggi, untuk lebih berperan aktif dalam mencapai target tahunan negara minimal 600.000 talenta digital.
Ketika pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk menutup kesenjangan digital dalam infrastruktur dan tata kelola, tampaknya penyedia layanan pendidikan menengah dan tinggi memiliki masalah yang lebih mendasar untuk ditangani.
Lembaga Penelitian SMERU bekerja sama dengan Universitas Oxford dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berdasarkan data primer yang dipasok oleh berbagai kementerian di Indonesia, baru-baru ini menerbitkan sebuah laporan diagnostik dan garis besar strategi untuk perubahan menyeluruh pada sistem pendidikan Indonesia untuk memfasilitasi tercapainya tujuan transformasi digitalnya.
Laporan tersebut merujuk pada Survei PISA 2018 yang menemukan bahwa hanya sebesar 30 persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan membaca level 2 atau lebih (rata-rata OECD sebesar 77 persen). Tes membaca tersebut menilai kemampuan siswa dalam membedakan antara fakta dan opinion saat membaca berbagai teks, sebuah komponen penting dalam membangun literasi digital.
Survei PISA tersebut mungkin dianggap sudah usang oleh beberapa orang mengingat survei tahun 2021 ditunda ke tahun 2022, tetapi pertimbangkan Survei Literasi Digital Indonesia yang dilakukan pada Bulan November 2020 oleh Kominfo, yang menemukan bahwa sebesar 60 persen responden masih belum terbiasa secara kritis menilai kredibilitas sumber online, seperti referensi silang atau backlink (pranala balik) untuk menemukan sumber utama dari informasi tersebut.
Hal penting lainnya adalah laporan tersebut menyebutkan bahwa meskipun ada upaya untuk menawarkan kursus yang berhubungan dengan topik digital di perguruan tinggi, kurikulum dan rubrik penilaian seringkali tidak mencerminkan representasi menyeluruh rangkaian keterampilan yang sesuai dengan persyaratan pemberi kerja.
Berbagai temuan tersebut menunjukkan bahwa baik pelajar sekolah menengah maupun mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia akan mendapatkan manfaat dari sistem pendukung yang kuat yang memberikan mereka kesempatan belajar dari kesalahan dalam lingkungan belajar yang aman dan bermakna serta sistem yang mendukung dan menghargai kemajuan. Pengalaman belajar autentik, termasuk tugas langsung yang meniru tugas dan harapan di dunia sesungguhnya, makin diminati oleh industri bahkan oleh siswa itu sendiri dalam membantu membangun keterampilan siswa terkait pemecahan masalah, pemikiran kritis, dan evaluasi. Selain itu, hal tersebut meningkatkan kemampuan mereka memahami informasi dalam perjalanan akademis mereka, dan mereka juga lebih termotivasi untuk mencapai tolok ukur pembelajaran yang akan berguna bagi masa depan; melakukannya atas prestasi mereka sendiri, alih-alih melakukan pelanggaran akademis.
Pelajar Indonesia dihadapkan pada kebutuhan untuk menjadi cerdas secara digital melalui pembelajaran virtual dan hybrid. Faktanya, prakarsa pemerintah bagi pelajar untuk mengikuti pelatihan asli dan proyek pengembangan sosial sebagai bagian dari penilaian mereka secara keseluruhan, melihat pelajar mengerjakannya di luar kampus. Lembaga pendidikan memiliki kesempatan untuk mengubah keterbatasan ini menjadi sebuah aset. Dengan ekosistem berbasis teknologi yang tepat untuk mendukung pembelajaran secara terstruktur, universitas dapat menghasilkan talenta yang tidak hanya memiliki kompetensi digital yang diperlukan tetapi juga pemikiran yang kritis.
Misalnya, mempertimbangkan penilaian yang lebih berkelanjutan dan berisiko rendah dengan umpan balik yang tepat waktu dapat membantu mengatasi tingkat kompetensi membaca yang mengkhawatirkan seperti yang diuraikan dalam laporan SMERU. Pendekatan semacam itu memungkinkan, bahkan mendorong, peserta didik untuk 'gagal dengan aman' dan membangun pengetahuan dengan para pendidik melalui loop umpan balik yang terbuka dan bertahap. Seiring bertambahnya ukuran kelas dan jarak fisik, solusi berbasis teknologi dapat memanfaatkan teknologi AI dan machine learning untuk memfasilitasi proses penilaian dalam skala besar dan memberikan tingkat otomatisasi untuk revisi yang dapat dilakukan sendiri oleh siswa seperti memperbaiki tata bahasa dan kutipan yang salah. Semua mekanisme tersebut dapat menghemat waktu para pendidik sehingga mereka dapat fokus pada wawasan yang lebih personal dan bermakna. Hal tersebut dapat mengatasi kesenjangan pelajar secara individu sambil memberdayakan siswa melalui transparansi dan panduan tambahan tentang kinerja mereka.
Lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan Indonesia juga akan mendapat manfaat dari teknologi solusi tersebut. Permintaan pendidikan kejuruan di luar kampus yang meningkat juga mengalami digitalisasi, dan kerangka kerja yang memprioritaskan umpan balik dan integritas akademik dapat memberikan kemudahan.
Sesuai dengan laporan yang disebutkan di atas serta rekomendasinya, sifat penilaian idealnya bervariasi dan seotentik mungkin, sehingga memungkinkan lembaga untuk mengukur dan membangun kompetensi praktis. Alih-alih dilakukan secara manual dalam satu ruangan, tim pendidik yang terpisah secara fisik dapat berkolaborasi menggunakan perangkat lunak yang memungkinkan mereka untuk mengkoordinasikan upaya mereka dan menjaga konsistensi kualitas. Misalnya, membuat rubrik dinamis yang dapat disesuaikan selama proses penilaian, dan menjalankan analysis data ujian dan penilaian per pertanyaan dan per rubrik untuk mengenali pola yang dilakukan dan yang tidak diketahui oleh siswa di seluruh kelompok secara lebih intuitif. Dengan cara ini, proses penilaian yang biasanya memakan waktu dapat disederhanakan. Ini akan mengurangi kelelahan dari tugas yang berulang sembari menyiapkan data yang kaya untuk menginformasikan desain ujian dan kurikulum.
Akhirnya, rasa memiliki dalam komunitas diperlukan untuk memberikan kenyamanan dalam lingkungan online dan hybrid, juga guna menghindari perasaan anonimitas dan perasaan terisolasi siswa dari pendidik dan teman sebayanya. Banyak yang tahu bahwa pembelajaran online cukup apatis, dan tekanan untuk berhasil merupakan faktor penyebab terjadinya ketidakjujuran akademik, sehingga rasa tanggung jawab adalah sesuatu yang penting. Ada banyak alat digital yang tersedia untuk mendorong komunikasi dan kerja sama yang membuat siswa tetap termotivasi, tetapi perangkat lunak khususnya dalam integritas akademik berguna untuk menumbuhkan bangsa yang berintegritas, yang sudah mampu berpikir kritis dan orisinil. Memberdayakan siswa untuk melakukan pemeriksaan kesamaan dari pekerjaan yang mereka hasilkan dapat membantu menopang kejujuran yang berkaitan dengan kebijakan institusional, dan menanamkan nilai bahwa tidak ada kesuksesan yang harus mengorbankan integritas pribadi mereka.